**Ilustrasi Diskusi “Korean Wave” marak dilakukan pada beberapa tahun terakhir, berkat bantuan teknologi dan media. Akhirnya fenomena ini memenuhi tuntutan diskusi ilmiah dan pembahasannya pun masuk ke ruang lingkup perkuliahan. Mahasiswa internasional Hanyang University dapat mendaftar kelas “Culture of Korea and Korean Wave” di Semester Genap 2022. Kelas ini telah menarik perhatian mahasiswa dari seluruh dunia, yang berujung pada terciptanya percakapan dinamis. Profesor Yoon Seong Woon memimpin kelas ini dua sesi per minggu, ia memberikan topik dan membuka dialog. Objektivitas kelas ini adalah mengajarkan budaya Korea lewat perspektif sejarah dan budayanya, serta mendalami fenomena “Korean Wave”. Sebagai bagian dari citra fenomena global, penting untuk menyoroti lebih dari sekadar musik pop Korea, drama Korea, makanan Korea, kecantikan Korea, dan pariwisata Korea. Musik merupakan salah satu kekayaan budaya tak berwujud. Musik terus mengalami perubahan, sejak ia pertama diciptakan hingga dirilis dan dinikmati oleh pendengar. Perpaduan musik kontemporer dan tradisional Korea, pansori, menjadi subtopik perdebatan yang paling memikat di kelas. Kombinasi musik tersebut menghasilkan elemen baru yang dikenal sebagai fusi gugak, di mana ia sendiri menimbulkan silang pendapat di masyarakat Korea Selatan. Fusi gugak membuka percakapan-percakapan tabu seperti modernitas dan perubahan sosial, yang diiringi dengan klaim efek negatif seperti gangguan budaya. Salah satu bentuk dampak negatifnya yaitu ekonomi terpusat yang mengubah bentuk asli dan mengomersialkan aset-aset budaya tradisional. Di sisi lain, fusi gugak diasumsikan laksana obat atas potensi kepunahan budaya. Sudut pandang yang berlawanan ini membangun lingkungan perbincangan yang menarik. Modernisasi bisa diinterpretasikan dari kacamata pariwisata sebagai dua sisi yang memberikan keuntungan dan kerugian. Dengan memanfaatkan teknologi dan saluran komunikasi–dalam hal ini menggunakan aset budaya berwujud dan tidak berwujud untuk sumber daya pariwisata dan bisnis–modernisasi memungkinkan aktor komersial tingkat makro mendapatkan perhatian lebih besar. Banyak pengunjung atau turis mengungkapkan keingintahuannya dan rasa untuk belajar lebih jauh tentang budaya tertentu. Krisis identitas mungkin lahir dari modernisasi atau penderitaan yang dialami oleh komunitas lokal. Target mendistribusikan kekayaan budaya tertentu secara luas harus dicapai dalam kerangka yang berkelanjutan dan mempertimbangkan kesejahteraan tuan rumah dan tamu. Menemukan keseimbangan budaya dan masalah finansial adalah jawabannya, setidaknya itu hasil perdebatan di kelas ini atas contoh kasus Korea Selatan. *[Translasi dari artikel akademik yang ditulis oleh Audrey Samantha, awardee IISMA dari Universitas Gadjah Mada untuk Hanyang University]**Sumber Ilustrasi: koreanfirst.net

Forum Category

Thread Terkait

Thread Popular