Hallo sobat merdeka. 		Saya Nofita Nur Safitri, peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka Batch 4 Inbound Universitas Fajar Kota Makassar.Hari Sabtu, 04 Mei 2024 saya mengikuti kegiatan Modul Nusantara Kebhinekaan yang dilaksanakan di Gedung Diklat Pendidikan dan Pelatihan, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam kegiatan ini kami di dampingi oleh dosen modul nusantara, dengan mengundang narasumber dari salah satu tokoh Penggiat Budaya dan Seni yang ada di Kota Makassar, yaitu bapak Yudisthira Sukatanya.<img src="https://storage.googleapis.com/pmo-echo-api-example/testing/1721056052722_narasumber.jpg"> 		Bapak Yudhistira ini, pernah mendapatkan beberapa penghargaan diantaranya:<ol><li>Sebagai penerima Piagam Penghargaan Penggerak Literasi Sulawesi Selatan 2018. </li><li>Penerima Kabar Makassar Awards 2020 untuk kategori Budayawan.</li><li>Penerima penghargaan sebagai penggerak literasi Sulawesi Selatan kategori penulis sastra ( Cerpen dan Novel 2020 )-Rumah Puisi Arya STR.</li><li>Penerima penghargaan pegiat seni budaya kota Makassar 2022- Pemerintah Kota Makassar. </li><li>Serta menjadi Anggota Dewan Kehormatan DKSS Prop Sulsel 2023-2027.</li></ol> 		Nah, dalam kegiatan kebhinekaan 4 ini, mengangkat topik mengenai Naskah I La Galigo sebagai warisan dunia.Perlu sobat merdeka ketahui, Naskah I La Galigo ini merupakan &nbsp;fragmen terpanjang di dunia. Ditulis di Makassar sekitar abad 14. Naskah ini adalah bagian dari Koleksi Naskah Bugis dan Makassar yang tersimpan tetap di Perpustakaan Universitas Leiden.Bapak Yudhistira menjelaskan bahwa sekalipun La Galigo bukanlah teks sejarah karena aspek mitologis narasi itu terasa sangat kuat, tetapi teks ini diakui oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana sejarawan melihat masa lalu peradaban Bugis. Khususnya, masyarakat Bugis di periode sebelum era masuknya Islam. 		Menurut Prof Dr Nurhayati Rahman bahwa naskah I Lagaligo kini telah dikembalikan ke Indonesia berkat bantuan Wakil Presiden Yusuf Kalla melalui Yayasan I Lagaligo yang didirikannya yang diketuai oleh Tanri Abeng. Yayasan telah memberli copy digital ke 12 jilid naskah I La Galigo yang tertulis dalam aksara Lontarak. Dengan demikian, keberadaan naskah tersebut akan sangat membantu masyarakat Sulsel khususnya atau masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mengetahui kisah dari epik sejarah tana Luwu. Sebagaimana diketahui buku La Galigo jilid I dan II telah diterbitkan pada tahun 1995 dan tahun 2000 disusul kemudian penerbitan jilid III pada 2017. Pada lounching buku jilid III di Universitas Hasanuddin Makassar, acaranya dirangkaikan dengan lounching website La Galigo. 		Tak lama lagi-bahkan semoga di bulan Mei tahun 2024 ini, segera terbit buku ke-empat seri La Galigo dengan penerbit Pustaka Obor. Bagian dari 12 jilid naskah yang lama tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Tepatnya tersimpan di perpustakaan KITLV. Sebagian besar naskah-naskah La Galigo yang dilestarikan disimpan di Indonesia dan Belanda. Seperti halnya satu naskah La Galigo lain, yang disimpan di Museum La Galigo di Makassar, pada 2011 naskah La Galigo di Leiden tercatat dalam daftar ‘Memory of the World’ UNESCO. 		Di kalangan masyarakat Bugis, La Galigo dikenal dengan nama sebutan lain “Sureq Selleang”, “Sureq Galigo” atau “Bicarrana (Pau Paunna) Sawerigading”, adalah sebuah kitab yang dianggap suci oleh masyarakat Luwu masa lampau. Kesakralannya hingga kini masih diyakini. Naskah Galigo memiliki banyak fungsi:<ol><li>Surek Galigo sebagai bacaan hiburan - bisa dibaca selepas magrib sampai tengah malam.</li><li>Surek Galigo sebagai bacaan upacara – upacara malam pengantin – dibaca bergilir.</li><li>Surek Galigo sebagai buku mitos atau tuntunan hidup.</li><li>Surek Galigo sebagai naskah tua – antik/ sakral.</li></ol>Isinya terhimpun dalam beberapa episode<ol><li>Sawerigading dengan keluarganya</li><li>Sawerigading mencari We Tenri-Rawe – Sepupu sekalinya.</li><li>Saweigading bermaksud mengawini saudaranya We Tenri Abeng.</li><li>Ditebangnya Pohon Welenreng- Kaplataru/pohon kehidupan di posi tana – lingkar batangnya tujuh ribu depan- tingginya tiga ribu depa dan dapat dilihat dari tana Jawa. </li><li>Sawerigading berlayar ke negeri Cina – bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tana Luwu</li><li>Sawerigadung melamar We Cudai- hasil perkawinannya melahirkan I Lagaligo dan We Tenri Dio</li><li>Sawerigading sebelum dan sesuadah gaib</li><li>Sawerigading leluhur Raja-raja Luwu. </li><li>Sawerigading dalam silsilah.</li></ol> 		Apa yang tertuang dalam kitab La Galigo sering dianggap benar-benar pernah terjadi, bahkan bagi penganut agama lokal itu pembacaan La Galigo juga harus disertai ritual. Sebelum dibaca harus ada persembahan, sesaji, dupa, pemotongan ayam, atau kambing. Laiknya kitab suci bagi para pemeluk agama secara “tradisional”, merekapun yakin membaca fragmen kisah-kisah La Galigo ialah sinonin berdoa. Konon, fungsinya secara magis bisa menjadi “obat” beragam penyakit, menjadi tolak bala, dan lainnya.Berbentuk puisi epik, karya ini awalnya berupa tuturan lisan. Epik atau Epic berasal dari bahasa Yunani, epikos yang berarti kata, lagu atau pidato. Epik dapat digunakan sebagai kata sifat untuk menggambarkan sesuatu yang penting secara historis, abadi dan kompleks. KBBI menyamakan epik dengan epos. Epos adalah syair panjang yang menceritakan riwayat perjuangan seorang pahlawan.					Memasuki paruh pertama abad 19, karya ini mulai ditulis. Berbentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara. Komposisi bahasa penyusun puisi ini dianggap indah. Berkualitas susastra tinggi. Menariknya, tradisi pembacaan La Galigo dilakukan sembari dinyanyikan. Cara melagukan La Galigo dalam bahasa Bugis disebut laoang atau selleang. Lazimnya dilakukan dalam sebuah upacara adat. Jadi, sebenarnya bicara La Galigo, selain mewariskan tradisi tulisan juga tradisi lisan. Sayangnya, sejalan pudarnya pengetahuan lokal perihal teks-teks kuno Bugis dan juga rendahnya tingkat penguasaan masyarakat atas bahasa kuno dan aksara Lontara, maka kini jadi ancaman tersendiri bagi upaya pewarisan khasanah La Galigo. Aksara Lontara Bugis atau sering disebut dengan istilah lokal ‘ukiq sulappaq eppaq’ (huruf segiempat), konon ialah turunan dari aksara Pallawa. 		Kabar gembira bagi pecinta sastra dan sejarah. Salah satu warisan dunia Unesco, naskah La Galigo, sudah bisa diakses secara online di seluruh dunia. Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, telah mendigitalisasikan naskah La Galigo yang terdaftar di Unesco pada 2011 itu. Naskah dan gambar dapat diunduh untuk bahan pengajaran dan penelitian dari koleksi digital perpustakaan tersebut. Naskah La Galigo merupakan epos terbesar di dunia, ditulis dalam bahasa dan aksara Bugis.

Forum Category

Thread Terkait

Thread Popular